Pembuktian Akta Otentik

Posted: 04/21/2011 in bahan kuliah
Tag:

PEMBUKTIAN AKTA OTENTIK

Oleh : Arief Rachman SH.,M.Kn

 

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Hal tersebut tercermin dari falsafah bahwa Negara Republik Indonesia merupakan suatu Negara Hukum, dimana hukum menempati posisi tertinggi dalam pelaksanaan pemerintahan atau dikenal dengan prinsip rule of law, pengaturan oleh hukum, jadi yang mengatur adalah hukum, hukumlah yang memerintah atau berkuasa, hal ini berarti bahwa dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan maka harus selalu berpegang teguh kepada supremasi hukum, memang rule of law secara singkat diartikan sebagai governance not by man but by law, perlu diingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, hukum adalah untuk manusia, sehingga governance not by man but by law tidak boleh diartikan bahwa manusianya pasif sama sekali dan menjadi budak hukum. Oleh karena itu haruslah hukum dipandang sebagai suatu alat untuk mengatur segala hubungan antar manusia, baik hubungan antar individu atau antar perorangan, maupun antara perorangan dengan kelompok-kelompok maupun antara individu atau kelompok dengan pemerintah.

Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Tuntutan terhadap perlindungan hukum dalam perkembangan kehidupan masyarakat salah satunya tercermin dalam lalu lintas hukum pembuktian, adanya alat bukti dapat menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia pasal 1866, dikenal alat-alat bukti yang terdiri dari : bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Mengenai bukti tulisan termasuk didalamnya adalah suatu akta otentik, yaitu suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang dikehendaki oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta itu, ditempat dimana akta itu dibuat (pasal 1868 KUHPerdata). Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai catatan sipil dan pejabat lelang. Dalam hal akta notaris yang berhak membuat akta otentik adalah Notaris, karena notaris telah ditunjuk sebagai satu-satunya pejabat umum yang berhak membuat semua akta otentik, kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Sebagai alat bukti yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan dibantu alat bukti yang lain. Undang-undang memberikan kekuatan pembuktian demikian itu atas akta tersebut karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah dan diberikan wewenang serta kewajiban untuk melayani publik/kepentingan umum dalam hal-hal tertentu, oleh karena itu notaris ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.

Notaris sebagai pejabat publik yang berwenang untuk membuat akta otentik, mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat, banyak sektor kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari notaris, bahkan ada beberapa ketentuan yang mengharuskan suatu perbuatan hukum dibuat dengan akta notaris yang artinya jika tidak dibuat dengan akta notaris maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Atas dasar kewenangan tersebut, maka dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, notaris dituntut untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan pelayanan profesional. Dalam melaksanakan pekerjaannya yang mengandung banyak resiko tersebut, diperlukan pengetahuan hukum yang cukup dan ketelitian serta tanggung jawab yang tinggi. Untuk itu dalam praktek sehari-hari notaris diwajibkan untuk senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas negara serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan negara.

Sebagai pejabat umum notaris hendaknya dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku profesional dan ikut serta dalam pembangunan nasional khususnya di bidang hukum. Unsur-unsur perilaku profesionalisme yang dimaksud adalah bahwa notaris harus mempunyai keahlian yang didukung dengan pengetahuan dan pengalaman yang tinggi dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu dilandasi dengan pertimbangan moral yang diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-nilai sopan santun dan agama yang berlaku juga harus jujur, tidak saja kepada pihak kedua atau pihak ketiga,tetapi juga pada dirinya sendiri, serta tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan keuntungan dalam arti ia harus bersifat sosial dan tidak bersikap diskriminatif dengan membedakan antara orang yang mampu dan tidak tidak mampu, untuk itu ia harus memegang teguh etika profesi dalam pelaksanaan tugas profesi yang baik, karena dalam kode etik profesi itulah disebutkan segala perilaku yang harus dimiliki oleh seorang notaris.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik.

Pembuktian adalah proses, cara, perbuatan membuktikan atau usaha menunjukan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak karenanya. Dengan demikian akta otentik hanya dapat dibatalkan oleh alat bukti lawan. Hakim hanya dapat membatalkan akta notaris jika dimintakan pembatalan oleh para pihak yang bersengketa, dengan didasarkan pada bukti-bukti kuat dan sempurna yang disampaikan pemohon kepada hakim, tanpa adanya permohonan pembatalan akta tersebut hakim tidak serta merta dapat membatalkan akta otentik yang menjadi objek sengketa di pengadilan.

Akta otentik sebagai akta yang dibuat oleh notaris secara teoritis adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya akta tersebut tujuannya adalah untuk pembuktian jika terjadi sengketa di kemudian hari. Dikatakan dengan resmi karena tidak dibuat dibawah tangan. Pembuatan akta otentik dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Berdasarkan pasal 1868 KUHPerdata bahwa akta otentik harus dibuat dalam bentuk :

  1. Sesuai aturan hukum;
  2. Dibuat dihadapan pejabat umum;
  3. Dibuat dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta tersebut dibuat.

Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) pasal 38 sampai dengan pasal 53 Bab VII bagian pertama diatur tentang bentuk dan sifat akta, oleh karena itu notaris dalam membuat suatu akta otentik tidak boleh menyimpang dari persyaratan, bentuk, sifat dan isi akta sebagaimana diatur dalam UUJN.

Oleh karena itu dalam pembuatan suatu akta otentik oleh notaris, hendaknya diperhatikan 3 (tiga) aspek yaitu :

  1. Aspek Lahiriah (Uitwendige bewijskracht).

Yaitu kemampuan lahiriah akta notaris, yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant seseipsa), suatu akta apabila dilihat dari luar (lahirnya) maka apabila bentuk akta tersebut sebagai akta otentik telah sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Kemampuan lahiriah akta notaris ditentukan dalam pasal 38, 42 dan 43 UUJN.

Dalam hal ini berlaku pembuktian negatif, artinya beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta notaris tersebut. Parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta otentik yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan baik yang ada pada Minuta dan Salinan akta, maupun bentuk dari akta tersebut, awal akta (mulai dari judul) sampai akhir akta.

  1. Aspek Formal (formele bewijskracht).

Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para penghadap, saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para penghadap (pada akta pihak), sebagaimana kewenangan notaris berdasarkan pasal 15 ayat (1) UUJN.

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang mereka lihat, disaksikan dan didengar oleh para notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan dihadapan notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak, saksi dan notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris.

  1. Aspek Materiil (materiele bewijskracht)

Keterangan atau pernyataan yang dituangkan dalam akta pejabat (akta berita acara) atau keterangan para pihak yang disampaikan dihadapan notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar terhadap apa yang dikatakan kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab para penghadap sendiri.

Dengan terpenuhinya syarat lahiriah, formil dan materiil, suatu akta otentik mempunyai kepastian sebagai fakta yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah (mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna) di antara para penghadap dan para ahli warisnya serta penerima hak mereka. Ketiga aspek tersebut diatas merupakan syarat kesempurnaan akta otentik, jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan bahwa salah satu atau keseluruhan aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan saja.

B. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat Oleh Atau Dihadapannya.

Sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara, notaris harus dapat menjalankan tugas profesi sebaik mungkin sesuai dengan hukum agamanya dan hukum serta peraturan yang berlaku. Oleh karena itu jika notaris berbuat melanggar hukum, sanksinya tidak hanya berupa sanksi hukum positif saja, melainkan sanksi moral dari masyarakat dan sanksi spiritual menurut hukum agamanya. Sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara, notaris tidak bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai profesionalismenya.

Sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) notaris berwenang membuat akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya /pekerjaannya dalam membuat akta oetentik. Tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya :

  1. Tanggung jawab notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya, dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu pebuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut:
    1. Melanggar hak orang lain;
    2. Bertentangan dengan aturan hukum;
    3. Bertentangan dengan kesusilaan;
    4. Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Tanggung jawab notaris dalam ranah hukum perdata ini, termasuk didalamnya adalah tanggung jawab perpajakan yang merupakan kewenangan tambahan notaris yang diberikan oleh undang-undang perpajakan.

  1. Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya. Unsur-unsur dalam perbuatan pidana meliputi:
  2. Perbuatan manusia;
  3. Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam undang-undang);
  4. Bersifat melawan hukum.
  5. Tanggung jawab notaris berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN).
  6. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 UUJN tentang sumpah jabatan notaris.

Sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik, notaris bertanggung jawab atas akta yang dibuatnya jika dikemudian hari terjadi sengketa berkaitan dengan akta tersebut. Tanggung jawab notaris dalam pembuktian perkara pidana di persidangan dapat terjadi manakala akta tersebut menjadi permasalahan sehingga mewajibkan notaris tersebut memberikan keterangan dan kesaksiannya berkaitann dengan aspek formil maupun materiil akta.

Terhadap akta yang dibuatnya notaris wajib bertanggung jawab atas keotentikannya, namun demikian dalam pemeriksaan perkara pidana, notaris tidak serta merta dapat dihadirkan dalam pemeriksaan, karena pasal 66 UUJN memberikan perlindungan terhadap notaris sebagai pejabat umum. Tanpa adanya bukti awal yang kuat bahwa aktanya berindikasi perbuatan pidana dan atau atas dugaan notaris turut serta melakukan tindak pidana berkaitan dengan akta yang dibuatnya, Majelis Pengawas Daerah bisa saja menolak permintaan penyidik untuk memberikan ijin pemeriksaan terhadap notaris. Apabila notaris menghadiri pemerikaan perkara pidana tanpa ijin ataupun persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah, maka jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya peningkatan status dari saksi menjadi tersangka adalah tanggung jawab notaris itu sendiri.

BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut

  1. Dengan terpenuhinya syarat lahiriah, formil dan materiil, suatu akta otentik mempunyai kepastian sebagai fakta yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah (mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna) di antara para penghadap dan para ahli warisnya serta penerima hak mereka. Ketiga aspek tersebut diatas merupakan syarat kesempurnaan akta otentik, jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan bahwa salah satu atau keseluruhan aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan saja.
  2. sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) notaris berwenang membuat akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya/ pekerjaannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab tersebut meliputi :
    1. Tanggung jawab secara perdata/ privat atas akta yang dibuatnya, dalam hal ini tanggung jawab atas kebenaran materiil akta notaris dan tanggung jawab dalam lingkup hukum pajak, atas kewenangan yang diberikan oleh undang-undang pajak.
    2. Tanggung jawab secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya, dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum terhadap unsur-unsur perbuatan pidana yang terindikasi dari akta yang dibuatnya.
    3. Tanggung jawab notaris berdasarkan undang-undang jabatan notaris yaitu Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004.
    4. Tanggung jawab notaris secara moral dan etika untuk menjalankan jabatan berdasarkan kode etik notaris dan sumpah jabatan notaris.
Komentar
  1. ernie berkata:

    mantab bang bahanya udah bsa menambah buat tulisan adc…….
    tambah lagi bang yang laen……..

  2. mita berkata:

    thnks u mas atas posting tulisanya…….:):D

  3. kelik berkata:

    boleh tidak membuat akta tanah antar wilayah
    bukti fisik ad di kabupaten,tpi ingin memakai jasa notaris berdomisili dikotamadya

  4. Arief Kren Coy berkata:

    kalo notaris tidak berwenang untuk membuat akta dibidang pertanahan akan tetapi yang berwenang adalah PPAT……..PPAT wilayah jabatanya hanya terbatas dikabupaten atau kota jadi kalo objek tanah tersebut berada di kabupaten maka haruslah memakai jasa Notaris/PPAT dikabupaten tidak boleh memakai jasa Notaris/PPAT yang berada dikotamadya/kota….

  5. wahyu berkata:

    bolehkah notaris menerima berkas akta jual beli dari pihak BPN dan proses terjadinya akta jual beli tersebut tidak dihadapan notaris sehingga notaris tidak kenal dengan para penghadap tetapi berani menandatangani dan memberikan tanda tangan saksi para stafnya 2 orang? akibat hukum apa yg bisa digugat kepadanya karena menimbulkan kerugian orang lain yg seharusnya berhak?

    • Arief Kren Coy berkata:

      tentu saja tidak boleh karena syarat sahnya jual beli tersebut salah satunya adalah para pihak harus dikenal dan berhadapan dng notaris tersebut….”syarat sahnya perjanjian pasal 1320 BW”jika telah terjadi permasalahan seperti tersebut diatas maka akta jual beli tersebut bisa dibatalkan karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku… untuk notaris tersebut bisa saja langsung dilaporkan kepada majelis pengawas notaris daerah agar bisa ditindak lanjuti bahkan notaris tersebut bisa saja diajukan dimeja persidangan dengan dakwaan ikut serta dalam pemalsuaan….sekian….trimakasih……

  6. tenaar berkata:

    klo kuhperdata itu dimana letaknya dalam hierarki peraturan perundang-undangan? jk dsetarakan dgn uu apa dasarny? mohon penjelasanny

    • Arief Kren Coy berkata:

      KUHPdt atau BW memang adalah undang2 akan tetapi disini KUHPdt adalah undang2 bagi lingkup Hukum perdata…jadi bisa dikatakan KUHPdt adalah kiblat nya hukum perdata kecuali emang sudah ada peraturan2 yang diatur secara khusus oleh suatu undang2 lagi dan dinyatakan KUHPdt sudah tidak di gunakan lagi….

  7. udin kamiludin berkata:

    mau tanya bisakah Notaris yang telah membuat surat kuasa dimintakan untuk menjadi saksi di pengadilan sehubungan dengan surat kuasa tersbt?

    • Arief Kren Coy berkata:

      tentu saja bisa notaris dijadikan saksi dalam pembuatan akta yang dibuat oleh notaris tersebut,,akan tetapi harus sesuai prosedur yakni pengadilan / polisi harus meminta ijin terlebih dahulu kepada Majelis Pengawas Daerah,,,,

  8. vini berkata:

    saya vini, mau tanya apakan akta notaris itu objek sengketan tun?

  9. Arief Kren Coy berkata:

    mbak vini akta notaris bukan merupakan objek sengketa di PTUN akan tetapi pengadilan umum saja, karena Notaris/PPAT bukan merupakan produk dari kewenangan delegasi pemerintah,

  10. iip berkata:

    Pak Arief, apakah Penghadap dalam membuat akta bisa hanya satu orang saja..? Maksudnya, satu orang ini mewakili para pihak. Misalnya pembuatan akta jaminan fidusia, dimana satu orang penghadap ini, bertindak berdasarkan kuasa perusahaan tempat ia bekerja (PT) juga bertindak atas surat kuasa di bawah tangan oleh konsumen perusahaannya.

  11. mirhan berkata:

    maaf pak arif, adik saya laki laki, jadi istrinya membalik namakan sertifikat rumah atas nama istri, tanpa sepengetahuan suami, sedangkan jual beli atas nama suami itu gimana pak hukumnya

Tinggalkan komentar